Jumat, 11 Juli 2014

[CerPen] MENJEMPUT RINDU


Oleh : Nuraini Ayu Pangestu

Delapan tahun silam, kutemukan Intan bersama lukaku

Dalam Langit Jakarta yang memanggang

Dilanjuti malam yang mencekam

Diintai bertaruh nyawa seperti perang

Intan bertahan tanpa takut kematian

Sama seperti pejuang muda

Yang pergi pertaruhkan nyawa

Menyisakan sejarah panjang

Untuk dikenang

Langit kemuning dengan guratan-guratan jingga yang menyelisip mega-mega senja menyelubung kota Jakarta. Malam merayap lamban. Sepi dan gundah menyergap diriku di sebuah kamar hotel berbintang lima. Tiga hari sudah aku di Jakarta dan masih ada empat hari lagi untukku tetap bertahan di kota penuh sesak dan polusi ini. Aku jadi teringat kisah delapan tahun silam, dua belas Mei 1998, kala reformasi mencuat, yang digemakan oleh para mahasiswa se-JABOTABEK untuk melengserkan orang nomor satu di Indonesia—Soeharto, yang selama tiga puluh dua tahun memegang kendali negara Indonesia. Saat itu, Jakarta menjadi lautan mahasiswa yang berkerumun menduduki atap dan lingkungan gedung MPR serta memadati beberapa ruas jalan di Jakarta.

Susana mencekam, suara berondong peluru terdengar menakutkan, mematahkan nyali, ikut serta pula kepulan asap dan api akibat pembakaran mobil serta ban-ban bekas yang menjulang rendah ke angkasa. Aparat kemanan dan mahasiswa saling beradu, beberapa mahasiswa ada yang diculik bahkan meregang nyawa hingga akhirnya menjadi pahlawan reformasi yang terkenang hingga saat ini. Tapi ada yang lebih kurindukan dari peristiwa Jakarta itu. Aku mencari Intan Sholeha—gadis yang menolongku saat tubuhku tergolek lemas tidak berdaya akibat pukulan keras yang bertubi-tubi dari pentungan kayu milik polisi.

Intan adalah adik kelasku yang terpaut dua tahun umurnya dariku, saat itu aku sedang semester akhir. Gadis itu sangat berani, kobaran semangat reformasinya terlihat dikala matahari tepat berada di peraduan yang memanggang kulit dan ubun-ubunya. Lalu, ke sana dan ke mari bersama teman-temannya mencari korban-korban yang terluka, padahal saat itu bahaya tengah mengintainya. Sungguh dia wanita pertama yang membuatku terpana.

Aku sudah mengetahui, bahwa Intan telah menikah dan punya anak kembar laki-laki dan satu perempuan saat aku terakhir bertemu dengannya beberapa tahun silam. Tidak sepertiku, umurku yang sudah kepala tiga belum juga menikah. Padahal beberapa perempuan Jawa yang masih perawan, cantik. sukses karir dan soleh tidak terhitung jumlahnya. Orang tuaku pun sudah mati-matian memaksaku menikah dan mengenalkanku dengan beberapa wanita. Tapi, aku benar-benar terperangkap oleh lingkaran asmara yang ditanamkan Intan. Akibat perasaanku ini, sampai-sampai sahabat dekatku—Abdul Ridwan yang satu kantor sering meceramahiku agar tidak berlebihan untuk mencintai seseorang yang melebihi dari cinta Sang Pencipta. Aku sadar dan paham dengan semua kata-kata itu, tapi hatiku belum tenang bila belum berjumpa dengan wanita impianku

Surat-suratnya yang rajin mendarat di rumahku menyela perpisahan kami, banyak cerita menggoreskan luka di dalamnya. Intan ternyata tidak bahagia dengan pernikahannya. Suaminya itu hasil pilihan kedua orang tuanya. Aku menyusuri setiap kata yang mengisahkan tentang jerit batinnya. Entahlah aku suka atau tidak dengan berita itu. Tapi seharusnya aku paham, wanita yang hatinya selembut sutra, ucapannya yang manis penuh pikiran dan santun, tentu membuat puluhan kaum Adam ingin memilikinya. Awalnya, aku ikhlas dengan pernikahannya karena aku pikir Intan telah menemukan jodohnya, selain itu menikah adalah salah satu perintah sebagai penyempurna agama, apalagi Intan seorang perempuan, menikah adalah suatu dambaan agar tidak mendapat reputasi yang buruk di keluarganya dan masyarakat. Tapi, apa jadinya bila pernikahan itu justru menjadi malapetaka, tentu aku sebagai laki-laki yang mencintainya geram dengan laki-laki yang menjadi suaminya. Rasanya aku ingin bergulat dan membunuh laki-laki itu karena telah melukai wanita sebaik Intan. Seandainya aku menanggapi semua permasalahan yang dialami Intan karena aku mencintainya.

Aku sangat bersemangat saat mendapat undangan ke Jakarta untuk menjadi pembicara disuatu seminar ekonomi di Jakarta Hall Convention Center. Aku menjadi pembicara diacara expo ekonomi syariah untuk yang pertama kalinya di selenggarakan di Indonesia. Aku sebagai seseorang yang diamanahkan oleh Allah atas ilmu yang kudapat selama pendidikan S2 di AL Azhar University—Mesir, aku merasa kewajibanku sebagai muslim menyampaikan ilmu yang kudapat kepada khalayak, walaupun hanya satu ayat .

Memang jadwalku sangat sibuk, aku sering mengisi acara-acara seminar di kota-kota besar di Indonesia dan mengajar di beberapa perguruan tinggi baik negeri atau swasta di Surabaya. Terlalu sibuk hingga tidak memikirkan untuk menikah. Padahal undanganku sebagai pembicara hanya sampai dua hari saja dan itu pun untuk acara talk show yang dimulai pada pukul empat sampai dengan magrib. Tapi, aku sengaja tidak langsung pulang ke Surabaya karena aku dan beberapa stafku ikut serta mendirikan stand perusahaan di acara tersebut, --yang bergerak sebagai perusahaan jasa bisnis konsultan secara syariah. Dan bukan hanya sekedar itu pula aku memutuskan untuk bertahan di Jakarta, aku ingin menyela waktuku untuk mencari Intan.

Atas perjuangan itu pula aku bisa kembali ke Jakarta. Sekali lagi bila ditanya manakah yang lebih besar hasrat untuk berdakwah atau menjemput rinduku pada Intan? Jujur saja aku sulit menjawabnya, menurutku berdakwah menjadi hal yang wajib, karena aku harus menyampaikan walaupun satu ayat. Sementara menjemput rindu, sulit kuelakkan.

***

Expo ekonomi syariah sengaja diselenggarakan di JHCC karena tempat itu sudah menjadi langganan setiap ada momen besar digelar. Ini sudah hampir sepekan, tapi aku acuh. Aku lebih banyak menekan tombol-tombol di kipet hanphone-ku untuk mencari informasi tentang Intan lewat teman-teman dekatku atau teman-temannya. Dan aku lebih menghabiskan waktu ke luar mencari Intan ke tempat pemukiman di daerah Kebayoran Lama yang sering di sebutkan Intan dalam suratnya. Menjaga stand atau mengikuti acara talk show aku sampingkan untuk beberapa waktu. Namun, semua ikhtiarku nyaris menghasilkan tangan kosong. Aku seperti mencari sebuah jarum di tumpukkan jerami.

Aku kehilangan jejak Intan, alamat yang dicantumkan pada amplop di surat-suratnya telah lama ditinggalkannya dan tidak ada yang tahu ke mana Intan pergi. Ku lanjutkan perjalananku menuju depan pintu gerbang gedung MPR, aku menghentikan mobilku di seberang jalan gedung MPR, tanpa berniat untuk keluar dari mobil.

Rekaman kaset kembali diputar oleh otakku, delapan tahun silam aku mengenal Intan di balik pintu gerbang gedung MPR itu, dulu di sana ada tenda seadanya tempat dia dan temannya mengobatiku yang terluka memar dan biru lebam. Bayangan yang amat ingin kulewati kembali, tapi mustahil. Aku seperti ingin masuk ke dalam lorong waktu yang mengantarkanku pada delapan tahun silam, tapi di mana lorong waktu itu berada?

* * *

Lalu lalang ratusan pengunjung Expo dan para peserta seminar hampir tidak pernah kuperdulikan. Tapi, sorot mataku diam-diam selalu memaksa untuk mengintip wajah-wajah para pengunjung yang sliweran ke sana dan ke mari. Aku berharap ada keajaiban dari yang Maha Pencipta. Mungkin saja Tuhan mendengar isi hatiku, lalu tiba-tiba Intan muncul.

Aku malu pada Abdul, dia selalu memperhatikan gerak-gerikku secara diam-diam. Abdul mengejekku dengan sebuah pepatah “bagai pungguk merindukan bulan.” Wajahku berubah jadi merah semu. Tapi, apakah sebuah mimpi bila aku berharap bertemu kembali dengan Intan?

Aku duduk terdiam, menunduk lemas. Tapi jauh dari itu, hatiku terlalu yakin bahwa Tuhan bisa berkehendak apapun. Sebagai seorang muslim yang taat pada agama, aku yakin Allah mendengar do`aku yang senatiasa aku mohonkan selepas kiyamul lail di sepertiga malam.

Berulangkali aku merasa malu dengan diriku sendiri termasuk dengan Abdul saat aku menyapa beberapa perempuan dari punggungnya dan ternyata tidak satu pun wajah Intan kutemukan. Aku telah keliru.

Malam terakhir penutupan Expo terasa lamban, sejumlah stand syariah seperti bank-bank, pegadaian, perusahaan asuransi, tafakul, butik pakaian dan pernak-pernik muslim dan stand buku-buku islam serta beberapa media masa, sudah ada yang tutup sejak ba`da magribh. Aku masih bertahan duduk bersama Abdul di stand. Padahal di ruang auditorium di belakang standku sedang berlangsung acara penutupan yang seru, dihadiri menteri ekonomi, para pakar ekonomi, seorang artis KDI dan artis cilik serta grup marawis yang memberikan hiburan, dan terakhir tausiyah dari salah satu ustadz kondang di Indonesia, tapi semua rentetan acara itu kuhiraukan.

Di bawah cahaya lampu yang menyala ribuan watt, aku melihat seorang perempuan bejilbab putih yang wajahnya mirip dengan Intan sholeha bersama tiga orang anak di bawah umur sepuluh tahun. Dua laki-laki kecil yang kembar wajahnya, dan perempuan kecil dalam gendongannya. “Wajahnya mirip sekali dengan Intan, tapi Intan kan tidak berjilbab?” tanyaku penasaran dalam hati.

“Tabungan investasi cendikia untuk anak-anaknya, Bu…” Ucap salah pramu stand wanita bank syariah di depanku yang terpaut dua stand dari standku. Pramu stand mengajak wanita itu untuk duduk sebentar di standnya seraya memberi penjelasan produk-produk apa saja yang hendak ditawarkannya, lalu kulihat wanita berjilbab itu mengisi buku tamu yang telah disediakan.

Aku tercekat melihat wanita berjilbab itu, mulutku hendak berteriak tapi seperti ada yang menyumpal dengan kain. Wajah wanita itu betul-betul mirip sekali dengan Intan. Tapi aku takut dan malu untuk yang kesekian kalinya karena selalu salah menegur orang. Tidak berapa lama kemudian, wanita itu keluar dari stand di depanku, dan melesat menuju auditorium untuk melihat acara hiburan yang masih tersisa. Aku segera berlari secepat kilat menuju stand di depanku, dan memeriksa buku tamu. Aku kembali tercekat, nyaris tidak percaya ternyata tidak salah lagi, wanita yang menulis di buku tamu ini adalah: Intan sholeha. Aku memburu dan menatap liar semua pengunjung di auditorium, tapi sayang penglihatanku terganggu dengan trik-trik cahaya lampu yang terang, redup, dan berganti-ganti warna. Aku sengaja menunggu Intan di depan pintu luar auditorium dengan penuh kesabaran.

* * *

Satu jam kemudian wajah itu keluar bersama tiga anaknya yang masih kecil. “Tan, masih inget sama aku?” tanyaku dengan khas logat Jawa yang masih kental seraya memukul pelan pundaknya.

Perempuan berhidung bangir dan bermata bak bulan sabit itu awalnya menatapku aneh, lalu kami sama-sama diam. Pelan-pelan wanita itu memamerkan deretan giginya yang tersusun rapi diantara kuakan bibirnya dan dua lesung pipit kecil di dua sisinya. Intan terseyum lembut untukku.

“So…Sopian!” Intan tercekat, suaranya tertahan berat di kerongkongannya. Ketiga anaknya bingung melihat prilaku Intan dan aku. Tapi aku tidak peduli sama sekali saat itu dengan sekitar. Hanya perasaan bahagia bercampur haru saat melihat bening di kedua mata Intan meretas, basah. Suasana tiba-tiba saja menjadi hening, kami membisu hanya hatiku yang gentar bicara menyuarakan kobaran rinduku pada nya.

“Apa kabarmu?” Tanya Intan lirih.

“Alhamdulillah, aku sehat wal afiat.” Sahutku seraya tersenyum riang.

Airmata Intan berjatuhan lamban membasahi pipinya, sapu tangan dari saku baju kemejaku segera kuberikan untuknya. Intan terlihat betul-betul sedih saat melihatku, mungkin dirinya tidak akan menyangka akan bertemu denganku. Aku ingin memeluk tubuhnya dan menyeka airmatanya tapi hal itu bertentangan dengan batinku, aku merasa imanku tengah di uji. Ku biarkan Intan menumpahkan airmatanya.

“Sudah jangan menangis.” Ucapku.

Intan mendadak diam dan menunduk malu. Aku tidak hentinya mengucapkan syukur kepada Sang Maha Pemilik Cinta dan tersenyum haru. Intan kemudian mengenalkanku pada ketiga anaknya yang lucu-lucu dan polos.

“Lelaki yang kembar pertama namanya, Sukron Arafat. Kembar kedua namanya, Muhammad Kindi, dan si bungsu yang cantik ini namanya Anna Nurjanah.”

“Nama yang bagus-bagus sekali.” Sahutku ditingkahi senyum jenaka ke arah anak-anaknya. Namun, mereka menatapku aneh dan asing.

Dari kejauhan aku melihat Abdul Ridwan—sahabatku berdiri di depan stand mematung, memperhatikan ulahku.

“Intan Sholeha….” Ucap Intan dengan kedua tangan mengatup di depan dadanya sebagai tanda perkenalan tanpa saling berjabat tangan.

“Nama yang indah. Seperti serupa wajah dan ucapannya, dan mungkin juga serupa hatinya. Ternyata wanita ini yang membuat hidupmu….”

“Rindu dan gundah.” Potongku cepat.

Intan merah semu karena malu seraya mengulum senyumnya. Wajah cantik itu menunduk.

“Di mana suamimu?” tanyaku pelan. Bening kembali meretas di mata Intan.

“Sudah satu setengah tahun, kami tidak lagi satu atap, kami pisah ranjang. Aku telah salah memilih imam untuk keluargaku.” Balas Intan dengan nada berat.

“Maafkan aku bertanya seperti itu?”

Intan menyeka air matanya. “Tidak apa.” Lirihnya.

Bertemu dengan Intan dan mendengar keluh kesahnya, mendadak menjadi kobaran semangat yang sangat besar untuk hidupku. Setiap hembusan nafas selalu kusyukuri. Semua terjadi karena kehendak dan ridho Ilahi.

Malam mulai merayap. Para pengunjung juga sudah terlihat bubar suasana menjadi sepi. Kutatap jam di tanganku yang menunjukkan hampir pukul 23.00 WIB. Aku meminta izin pada Abdul untuk mengantarkan Intan dan ketiga anaknya.

Dalam perjalanan Intan bercerita tentang Ayahnya yang meninggal karena penyakit gula dan jantung enam bulan lalu, sementara sang bunda sudah meninggal setahun sebelumnya karena sakit panas biasa. Tiga kakak Intan, hanya tinggal dua orang yang masih di Jakarta, itu kakak laki-lakinya. Sementara kakak perempuannya tinggal di Bogor karena harus mengikut suaminya. Intan dan ketiga kakaknya sudah jarang bertemu, hanya saat libur atau disaat momen-momen tertentu.

Intan kembali menceritakan tentang tabiat suaminya yang selalu berprilaku kasar dan biadab. Airmata malang itu terus berderai, sampai ketiga anaknya yang tidak tahu apa-apa ikut menangis akibat melihat ibunya. Sebetulnya aku ingin sekali menyeka air matanya, tapi tanganku seperti tertahan memegang beban berat.

“Sabar lah, dengan ujian berarti Allah menyayangi umatnya. Allah tidak akan menguji hambanya diluar batas kemampuan umatnya.”

“Aku tahu, Ian. Tapi semua ini terlalu berat untuk kurasakan seorang diri.”

Malam benar-benar menggetarkan perasaan hingga terhempaslah semua lara yang menyelimuti diriku dan Intan. Wanita itu bercerita bahwa selama berpisah ranjang dengan suaminya, dia bekerja di tempat bimbingan belajar bahasa inggris ternama, semua itu dilakukannya semata-mata untuk menyambung hidup.

Malam makin merayap, larut. Ketiga bocah dalam pelukan dan pangkuan Intan di mobil membuat mereka lelap tertidur, Intan segera membopong si kembar ke kamarnya, sementara aku membopong si kecil Anna. Pembantunya yang perempuan dan sudah tua menyuguhkan dua cangkir teh hangat. Hening benar-benar mencekam, aku duduk dengan Intas di atas sofa sambil menikmati teh hangat. Tiba-tiba saja tangan Intan hendak meraih jemariku, dan kepalanya hendak menyandar di pundakku. Aku nyaris hanyut dalam suasana yang sepi dengan lampu temaram. Aku merasa imanku kembali teruji.

Aku menolak dengan ucapan sekenanya. “Maaf Intan, jangan sentuh aku.” Jantungku berdegub kencang setelah menyampikan kata-kata itu.

“Tapi, kenapa?” tanyanya dengan raut wajah kecewa. Aku tahu Intan baru empat tahun masuk Islam, dulu dia belum berjilbab, namanya pun dulu Intan Rahayu.

Aku merasa Intan belum terlalu banyak mengenal agamanya yang sekarang, apalagi mengingat suaminya yang kasar sudah pasti tidak bisa membimbingnya, terutama dalam hal akidah dan ilmu agama.

“Kamu sudah tidak mencintaiku lagi, Ian?” tanyanya kembali dengan airmata yang kembali turun.

“Perasaanku masih sama seperti dulu, aku mencintaimu. Kedatanganku ke Jakarta selain untuk menghadiri undangan, juga karena aku ingin mencarimu, menjemput rinduku. Tapi masalahnya kau belum resmi bercerai. Pisah ranjang bukan berarti kau terlepas begitu saja, masih ada yang membentengimu. Kau masih menjadi milik orang lain, Intan. Maafkan aku.” Jawabku penuh pikir, aku takut salah berkata-kata dan menyinggung perasaaan Intan hingga membuatnya terus menangis.

“Yah aku paham. Aku memang bukan wanita yang baik. Aku tidak bisa menjaga imanku. Kau memang laki-laki yang baik. Aku tidak pantas untukmu.”

“Jangan bicara seperti itu, aku mohon. Bila kau sudah mengurusi perceraianmu, aku akan menjemput dan menikahimu dengan bismillah.”

Intan tersenyum haru mendengar semua kata-kataku. “Betulkah, Ian?”

“Insya Allah.”

Tidak hentinya aku mengucapkan istighfar karena kelalaianku. Aku takut Sang Maha Pemilik Cinta murka kepadaku. Apalagi aku dilahirkan dari keluarga yang teguh pada agama, apa jadinya bila aku menjalin hubungan dengan wanita yang belum bercerai. Betapa aku akan malu karena telah mencoreng nama keluargaku sendiri.

Malam itu juga aku pamit kepada Intan, kutinggalkan dirinya yang masih menyimpan rindu kepadaku. Malam itu aku betul-betul tidak memberikannya momen yang menjadi lebih bermakna di hati Intan. Tapi seandainya dia mengetahui bahwa bertemu dengannya saja sudah cukup mengobati rinduku.

“Terimakasih, Ian.” Ucapnya diiringi airmata.

Kubelai kepalanya yang terbalut jilbab. Kugoreskan sedikit kebahagiaan di hatinya dengan mencium kepalanya.

* * *

Pagi menjelang siang kutinggalkan Jakarta, tempat yang memberikan kenangan indah dalam hidupku.

Aku pergi meninggalkan Jakarta melewati ratusan kilometer, kembali pada kehidupanku dengan membawa bayangan wajah malang Intan.

Sejak pertemuanku dengan Intan. Aku masih terus menghubungi Intan lewat handphone, menanyakan bagaimana perkembangan kasus perceraiannya dengan suaminya. Intan berkata kepadaku bahwa dia akan melewati tiga kali sidang, dia sangat berharap kurang dari dua bulan kasus perceraiannya akan selesai.

Intan adalah wanita paling indah yang pernah kukenal, wanita paling tabah dan sabar, sama seperti saat dia mengobati lukaku delapan tahun silam, maka akan kujadikan dia menjadi wanita paling bahagia di dunia ini.

Intan tunggulah aku menjemput rindumu, dan membawamu serta ketiga anakmu ke istana yang telah kubangun di tempatku berjuang menggapai masa depan. Yah, kelak kubawa kau ke Surabaya, kualiri kau dengan ketulusan cinta yang menjanjikan kebahagiaan.
* * *
Di kaki langit Pamulang, 20 Mei 2006

(Nuraini Ayu Pangestu, lahir Jakarta 4 April 1984, alamat Komp. Reni Jaya Jl. Kenari ! Blok AD 4 No 1a Pamulang-Barat, Tangerang. Suka nulis sejak SD kelas 6, cita-cita kedepan pengen bikin novel sama suami tercinta, pengen punya pustakaloka kayak mas golagong, pokoknya pengen eksis di nulis, maju terus pantang mundur!)

[ditulis ulang dari sini ]

[CerPen] NOMAT


Orang dengan T-Shrit Polo warna biru itu tertegun, duduk—menghimpitku—di bangku halte depan Ramayana. Mencoba mengamati gambar-gambar di baligo besar di sisi sebelah kanan atas halte. Gambar film yang akan diputar hari ini—yang terhalang oleh beberapa tiang dan gerobak-gerobak pedagang kaki lima yang menjajakan makanan di sekitar halte. Sementara di depannya, kesibukan terus berlanjut, kendaraan yang berlalu-lalang, angkutan umum yang menaikkan dan menurunkan penumpang, orang-orang yang datang dan pergi dengan keperluan masing-masing.
Laki-laki berperawakan sedang itu kemudian mengambil Hp, sepertinya mencoba menghubungi seseorang. Tak berhasil. Aku mencoba mengintip ke layar Hpnya, nama yang dihubungi sepertinya nama perempuan, nama yang sudah tak asing lagi bagiku. Dia lalu mencoba lagi, dilekatkan lagi Hpnya ke telinga kiri. Masih bersuara tulalit. Diapun mengurungkan niatnya, HP langsung dia masukkan kembali ke kantong depan sebelah kanan jeans birunya. Aku tahu, dia mau nonton film di Studio Twenty One. Aku lihat, filmnya lumayan bagus-bagus, ada Madagaskar, Batman Begins, Mr. & Mrs. Smith, pasti itu yang membuatnya pengen nonton. Aku juga tahu bahwa dia punya uang lebih, karena tadi dia mau ngajak temen perempuannya, tapi sepertinya ada masalah.
Setelah membuang segala gundahnya, pemuda pemilik HP Siemens C55 itu melangkah masuk ke Mall di sudut timur Cilegon tersebut, lewat pintu samping kanan mall, meniti tangga langsung menuju Studio Twenty One di lantai dua. Aku masih tetap setia di belakangnya. Sampai di dalam studio, dia menyapu pandang ke sekelilingnya lalu melihat-lihat poster-poster film yang dipajang pada tempat-tempatnya di dinding seputar ruang tunggu studio. Film apa ya yang harus ditonton..? sepertinya dia bingung. Mungkin ingin nonton semuanya, tapi uangnya.. heman!
Aku masih mengikuti gerak-geriknya. Bosan melihat gambar-gambar, dia duduk di kursi tunggu—selalu menghimpitku—memperhatikan orang yang main ding-dong, dan memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Wajahnya semakin murung.
Wah, jadi gak enak perasaan euy..! Ngiri!! Ketika melihat muda-mudi yang mau pada nonton. Wajah-wajah muda yang cantik, imut, kiyut, fresh, dan sebagainya berlalu-lalang. Nafas berat langsung terhembus. Huh, kapan kayak mereka..? (aku melirik mereka yang menggandeng cewek-cewek itu). Yah, walaupun tak ada lawan jenis yang menggandengnya, tetep saja mereka—cewek-cewek cakep—itu bawa teman atau rombongan. Sementara, orang yang selalu denganku.. Alone deh..!
Loket tiket sudah mulai dibuka, antrian juga sudah terbentuk. Nonton jangan, nonton jangan? sepertinya dia jadi pusing sendiri.. Tapi akhirnya dia menuju loket tiket. Studio 2, nonton Batman...
[***]
Jadi inget waktu dulu, pas nonton film apa ya.. oh, film Kungfu Hustle. Baru duduk di kursi dengan nomor yang sesuai dengan yang tertera pada tiket, eh, dia pengen buang air kecil. Ini nih, pasti dia kelupaan mengantisipasi... Setiap bubaran nonton, dia paling males keluar berdesakan, nyantai aja, gak pernah keluar pertama, gak pernah tahu caranya buka pintu. Jadi, ketika ingin kencing tersebut, dia harus buka pintu sendiri. Mahasiswa Fakultas Teknik UNTIRTA itu bingung cara buka pintunya kayak gimana.. Ada dua pintu keluar di dalam ruang studio, samping kiri-kanan layar pertunjukkan. Antara dua pintu itu dia bolak-balik, gak tau cara bukanya, sementara para penonton yang tengah duduk menonton pertunjukkkan aneh tersebut. Untung film belum diputar, he.. he.. Dari kampung mana sih? (sst.. bacanya jangan keras-keras.. takut kedenger sama dia..). Yap, akhirnya kebuka juga, sepertinya dia lega banget. Ternyata hanya tinggal menekan panelnya!
Kemudian dia langsung menuju toilet yang barusan keluar seorang laki-laki, sepi tapi aneh, sepertinya toilet laki-laki bukan kayak gini deh, kok gak ada urinalnya? Lalu ada seorang cewek keluar dari kamar mandi, dengan refleks dia langsung keluar toilet. Ternyata laki-laki yang barusan keluar itu hanya mengantar pacarnya. Setelah keluar dan menutup pintu dia sempatkan untuk melihat ke atas pintu toilet. Gambar kartun yang tubuhnya seperti piramida, melukiskan kefemalean. Dengan buru-buru dia masuk ke toilet satunya, dengan melihat tanda di atas pintu dulu tentunya. Memalukan!, pikirku.
Setelah selesai dengan hajatnya, masalahpun muncul lagi. Masuknya lagi gimana? Gak mungkin masuk lewat pintu tadi, panel pembukanya hanya di sebelah dalam, gak ada panel di sebelah luar. Dia merogoh saku, untung ada potongan tiket, so masuknya berarti harus dari pintu masuk lagi. Akhirnya, dia bisa duduk di tempatnya semula dan bisa nonton dengan tenang.
[***]
Waktu terus berlalu.. film Batman, seru euy..! Sudah sekitar dua jam, aku sudah merasa pengap. Saatnya untuk bubar, dia langsung menuju toilet—awas jangan sampai terulang lagi!. Ruang berAC selalu membuat dia beser. Sampai di dalam toliet—toilet laki-laki tentunya, bukan ke urinal, malah ke kamar kecil. Buang air kecil sih.. Setelah selesai, maksudnya sih nyiram, klik, dia menekan tombol penyiram, eh malah airnya mancer keluar kloset, kena ke celana, dia kaget, tapi basahnya di lutut! Yah lumayan dari pada basah di selangkangan... dia mengerutu, wajahnya mencerminkan itu.
Dengan perasaan tegang, lelaki berambut lurus itu keluar dari toilet, sial. Pasti dia bingung, harus bagaimana mengeringkannya. Sambil berjalan di lorong belakang studio, dia berpikir keras. Akhirnya dia menuju toko buku dengan segera, mencoba sembunyi di sela-sela rak buku, semua cover buku dia lihat. Mencari buku termurah untuk dia beli. Kemudian dia tertarik pada buku EYD, lumayan buat nambah ilmu menulis. Lama juga dia di toko buku, pokoknya sampai basah itu menjadi kering. Aku memperhatikan celana bagian lututnya yang tadi basah. Sudah kering.
Mungkin dia juga sadar, karena setelah memperhatikan ke arah lututnya dan meraba-rabanya, dia beranjak ke arah kasir dengan buku EYD di tangannya. Sambil menunggu antrian dia merogoh saku depan sebelah kanan celana jeansnya, menghitung uang ribuan untuk membayar buku bercover warna biru itu, sepertinya gak cukup. Pemuda berwajah pas-pasan yang selalu bersamaku ini lalu memasukkan uang itu kembali ke sakunya. Ketika giliran dia untuk membayar, dia menyodorkan buku tersebut ke kasir, kasirpun menerimanya, kemudian menscan label harga pada buku, yang secara otomatis akan memunculkan harga buku tersebut pada monitor komputer kasa.
Matanya yang agak sipit memperhatikan monitor kasa, melihat harga yang harus dia bayar. Diapun mengeluarkan aku dari saku belakang sebelah kanan celananya. Mengeluarkan satu lembar uang pecahan limapuluh ribuan dari tubuhku.
“Ada uang kecil?” Tanya kasir cantik dengan rambut diikat tunggal. Umurnya mungkin beda dua tahun lebih muda dari pemilikku.
“Ada, tapi kurang.” Jawabnya singkat sambil memasukkan aku kembali ke saku tempat asalku semula. Setelah selesai dengan urusan kembalian, dia berjalan keluar toko buku menuju tangga ke lantai bawah. Sambil jalan dia kembali mengeluarkan aku, memasukkan uang kembalian puluhan ke tubuhku dan memasukkan uang ribuan ke saku depan sebelah kanannya. Sampai di luar tempat belanja tersebut, orang yang selalu mengantongiku langsung menuju halte, menyetop kendaraan untuk pulang.
(cilegoncost,nov’05)
Oleh: TA Chandraz
*pernah dimuat di Radar Banten